Oleh: Riska Wirawan, Dosen Prodi Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Slamet Riyadi Surakarta
DALAM era digital, disinformasi politik telah menjadi fenomena global yang turut membentuk persepsi publik dan arah demokrasi. Di Indonesia, penyebaran informasi palsu atau menyesatkan bukan hanya persoalan teknologi, tetapi juga persoalan sosial dan politik.
Media sosial, yang semula diharapkan menjadi ruang partisipasi publik, kini sering berubah menjadi arena pertarungan opini yang memperkuat polarisasi dan perpecahan sosial. Pertanyaannya, siapa sebenarnya yang diuntungkan dari situasi ini?
Secara hukum, penyebaran disinformasi dapat dijerat melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024, yang melarang penyebaran berita bohong yang merugikan publik.
Namun, penerapan pasal-pasal tersebut sering kali menimbulkan perdebatan karena berpotensi disalahgunakan untuk membungkam kritik. Kelemahan regulasi ini menunjukkan pentingnya keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi.
Secara empiris, fenomena disinformasi politik meningkat tajam menjelang tahun politik. Berbagai studi menunjukkan bahwa hoaks paling banyak beredar di platform seperti WhatsApp, Facebook, dan X (Twitter). Narasi yang disebarkan sering kali bersifat provokatif, menyerang lawan politik, dan memperkuat bias kelompok. Dampaknya, masyarakat terbelah menjadi kubu-kubu ekstrem yang sulit diajak berdialog secara rasional.
Polarisasi sosial akibat disinformasi menciptakan efek domino terhadap keutuhan bangsa. Hubungan antarwarga menjadi tegang, kepercayaan terhadap lembaga negara menurun, dan ruang publik digital berubah menjadi medan konflik.
Dalam konteks ini, pihak yang paling diuntungkan adalah elit politik dan kelompok berkepentingan yang mampu memanfaatkan polarisasi untuk memperkuat dukungan atau melemahkan lawan politiknya. Sementara masyarakat umum justru menjadi korban dari fragmentasi sosial.
Menghadapi tantangan ini, diperlukan strategi holistik yang melibatkan negara, media, dan masyarakat sipil. Pemerintah perlu memperkuat literasi digital dan memastikan regulasi disinformasi tidak digunakan secara represif. Media massa harus menjalankan fungsi kontrol sosial dengan menyajikan informasi yang terverifikasi dan berimbang.
Selain itu, masyarakat perlu diajak membangun budaya dialog dan berpikir kritis agar tidak mudah terjebak dalam bias dan manipulasi politik.
Disinformasi politik dan polarisasi sosial merupakan tantangan serius bagi kualitas demokrasi di Indonesia. Jika dibiarkan, keduanya dapat menggerus kepercayaan publik terhadap institusi negara dan memperlemah kohesi sosial.
Oleh karena itu, penguatan literasi media, transparansi politik, dan penegakan hukum yang adil menjadi kunci utama untuk memastikan bahwa demokrasi tetap berpijak pada kebenaran dan rasionalitas, bukan pada kebohongan yang terorganisasi. ***
Tentang Penulis:
Riska Wirawan adalah pengamat isu social di masyarakat dan kebijakan public dan dosen Program Studi Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Slamet Riyadi Surakarta. Aktif menulis terhadap isu social dan kebijakan public di media nasional