• Wed, Dec 2025

Pemprov Riau Tekankan Remediasi Hutan Sebagai Jalan Keadilan Ekologis dan Sosial

Pemprov Riau Tekankan Remediasi Hutan Sebagai Jalan Keadilan Ekologis dan Sosial


PEKANBARU, SERANTAU MEDIA  - Pelaksanaan kebijakan remediasi Forest Stewardship Council (FSC) menjadi langkah nyata menghadirkan keadilan ekologis dan sosial di daerah. Oleh karena itu, dialog perbaikan area hutan sangat penting dilakukan agar menjadi momentum bagi Riau untuk keluar dari krisis lingkungan dan konflik.

Asisten II Sekretariat Daerah Provinsi (Setdaprov) Riau, Helmi, mengatakan dirinya memahami bagaimana pendampingan dilakukan di 10 desa pada empat kabupaten di Riau, hingga lahir kesepakatan melalui forum rembug desa yang kemudian dikonsolidasikan dalam dialog roundtable tingkat kabupaten. 

Proses panjang tersebut, bukan hanya administrasi melainkan perjalanan menyelaraskan kepentingan masyarakat, pemerintah, dan perusahaan.

"Saya memahami bahwa esensi dari implementasi kebijakan remediasi FSC adalah menghadirkan keadilan ekologis dan sosial, melalui pengakuan dan pemulihan hak masyarakat adat dan lokal, pemulihan kerusakan lingkungan akibat konversi dan aktivitas HTI. Tak hanya itu saja ada kemitraan yang setara antara perusahaan, pemerintah, dan masyarakat," katanya di Hotel Pangeran Pekanbaru, Rabu (03/12/2025).

Dijelaskan, inti dari implementasi kebijakan remediasi FSC adalah menghadirkan keadilan ekologis dan sosial. Hal itu diwujudkan melalui pengakuan serta pemulihan hak masyarakat adat dan lokal, termasuk perbaikan kerusakan lingkungan akibat konversi. Ia menambahkan, remediasi bukan sekadar jargon teknokratik. 

Proses ini, menyentuh dimensi mendasar kehidupan masyarakat Riau yang bergantung pada akses ruang hidup dan ruang penghidupan. Di wilayah desa yang dekat dengan kawasan konsesi, permasalahan lahan kerap menjadi konflik berkepanjangan yang merusak harmoni sosial.

"Penerapan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) sebagai dasar keputusan bersama. Saya memahami pula bahwa dampak dari proses ini bukan hanya lingkungan, tetapi menyentuh aspek yang sangat nyata seperti akses masyarakat terhadap ruang hidup dan penghidupan, penyelesaian konflik berkepanjangan di desa-desa, kehadiran negara melalui kebijakan yang adil dan terukur, serta kepastian bagi investasi yang bertanggung jawab," jelasnya.

Diungkapkan, prinsip tersebut memastikan setiap keputusan lahir dari persetujuan tanpa tekanan, melalui informasi yang jelas, dan dilakukan sebelum sebuah intervensi dilaksanakan. Ia menilai, di tengah kompleksitas persoalan tata kelola hutan, forum ini hadir untuk memastikan bahwa remediasi masyarakat harus merasakan manfaat perubahan tersebut secara langsung di lapangan. 

"Inilah yang menjadikan forum ini penting, memastikan remediasi bukan konsep di atas kertas tetapi perubahan yang dapat dirasakan masyarakat di lapangan," ungkapnya.

Diterangkan, Provinsi Riau memiliki tantangan ekologis yang sangat besar. Berdasarkan RPJMD, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Riau pada 2024 tercatat sebesar 70,77 poin. 

Angka tersebut masih memerlukan upaya bersama untuk meningkatkannya. Selain itu, terdapat 221.828 hektare lahan kritis, di mana 86 persen berada dalam kondisi sangat kritis.

Ia menambahkan di banyak desa, masyarakat bergantung penuh pada hutan sebagai sumber air, pangan, dan penghidupan. Ketergantungan tersebut membuat perubahan ruang, perusakan, atau perebutan kawasan menjadi ancaman terhadap kehidupan mereka.

"Saya mendengar langsung bagaimana konflik ruang dapat memecah harmoni sosial dan menghambat pembangunan desa. Karena itu, pemerintah tidak ingin gagap menghadapi masa depan. Solusi harus berbasis data, partisipatif, dan berkeadilan. Saya memandang bahwa implementasi proses remediasi ini adalah salah satu platform paling realistis dan berkeadilan untuk menyatukan kepentingan masyarakat, pemerintah, dan perusahaan," terangnya.

Lebih lanjut, ia berharap kolaborasi multipihak yang telah tumbuh dalam proses remediasi FSC dapat menjadi standar baru tata kelola pembangunan daerah. Dengan begitu, setiap rekomendasi dari desa tidak boleh terhenti sebagai dokumen belaka, tetapi harus menjadi agenda aksi yang memengaruhi kebijakan nyata.

"Melalui forum ini saya berharap kita dapat menyusun peta jalan remediasi yang jelas, terukur, dan berjangka waktu. Setiap rekomendasi dari desa tidak berhenti sebagai dokumen, tetapi berubah menjadi agenda aksi. FSC di Riau menjadi contoh terbaik nasional, menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan bisa berjalan berdampingan. Kolaborasi multipihak menjadi budaya, bukan hanya acara saya percaya, menjaga lingkungan bukan pilihan idealistik tetapi kebutuhan realistis untuk menjaga keberlanjutan hidup manusia." pungkasnya. (Adv/red)