Oleh : *Akrom Permana
Pendidikan merupakan denyut nadi peradaban. Ia bukan hanya soal membaca dan berhitung, melainkan tentang menyiapkan generasi yang mampu menjawab tantangan zaman. Dari ruang kelas sederhana, bisa lahir pemimpin bangsa. Namun, kualitas pendidikan sangat bergantung pada kondisi sekolah sebagai ruang belajar utama.
Sayangnya, hingga kini masih banyak sekolah di Indonesia yang kondisinya memprihatinkan. Ruang kelas yang bocor saat hujan, toilet rusak, laboratorium kosong, hingga perpustakaan yang miskin koleksi buku adalah realitas yang tidak bisa dipungkiri. Kondisi ini tentu menghambat proses belajar mengajar, sekaligus menurunkan motivasi siswa dan guru.
Dalam konteks inilah program revitalisasi sekolah hadir sebagai jawaban. Revitalisasi bukan sekadar memperbaiki gedung atau fasilitas fisik, melainkan menciptakan lingkungan belajar yang sehat, aman, nyaman, dan inspiratif. Ini merupakan investasi abadi untuk peradaban warisan jangka panjang yang manfaatnya akan dirasakan lintas generasi.
13.000 Sekolah Berbenah
Tahun 2025 menjadi tahun penting bagi dunia pendidikan Indonesia. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), sebanyak 13.000 sekolah dan madrasah yang direvitalisasi, 10.440 satuan pendidikan menjadi prioritas utama. Mencakup SD,SMP, hingga SMA/SMK di seluruh Indonesia.
Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Sekolah dan Madrasah. menegaskan bahwa pendidikan dasar dan menengah adalah prioritas nasional yang tidak boleh ditunda. Presiden menginstruksikan seluruh kementerian, pemerintah daerah, hingga lembaga pengawasan untuk bekerja terpadu mempercepat pembangunan sekolah.
Artinya, revitalisasi sekolah kini bukan sekadar program teknis, melainkan perintah langsung kepala negara.
Ini adalah bukti nyata hadirnya negara di tengah anak-anak bangsa, baik di kota besar maupun desa kecil, dari wilayah perbatasan hingga pulau-pulau terpencil. Revitalisasi sekolah menjawab kebutuhan mendasar: hak setiap anak Indonesia untuk belajar di ruang kelas yang layak.
Di sebuah desa di Jawa Tengah, seorang guru bernama Bu titin bercerita: “Dulu, anak-anak sering belajar sambil menahan rasa takut kalau hujan deras. Atap bocor, papan tulis basah. Sekarang ruang kelas baru, anak-anak lebih bersemangat. Bahkan mereka datang lebih pagi,” ujarnya sambil tersenyum.
Dalam dokumen RPJMN 2020–2024, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pembangunan SDM unggul adalah agenda strategis nasional. Revitalisasi sekolah merupakan bagian integral dari strategi tersebut, memastikan tidak ada anak bangsa yang tertinggal hanya karena ruang belajarnya rapuh.
Sejalan dengan itu, Suryadarma (2025) dalam bukunya Education Policy in Indonesia menekankan bahwa kualitas infrastruktur sekolah memiliki pengaruh langsung terhadap prestasi belajar siswa. Dengan kata lain, revitalisasi adalah langkah strategis, bukan sekadar kosmetik pembangunan.
Sekolah Kuat, SDM Unggul
Revitalisasi sekolah tak hanya soal memperindah bangunan. Ia menyentuh jantung layanan pendidikan: ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, UKS, hingga toilet. Semua ini menunjang proses belajar mengajar yang efektif.
Tahun 2025, pemerintah mengalokasikan Rp17,1 triliun untuk mendukung program revitalisasi sekolah. Menariknya, anggaran ini kini dikelola langsung oleh Kemendikdasmen, setelah sebelumnya berada di bawah Kementerian PUPR. Perubahan ini penting agar pengelolaan lebih fokus pada kebutuhan pendidikan.
Namun, yang lebih signifikan adalah mekanisme pengelolaan dana. Dana tidak lagi disalurkan melalui kontraktor besar, melainkan langsung ke rekening sekolah dengan mekanisme swakelola. Sekolah membentuk Panitia Pembangunan Satuan Pendidikan (P2SP) yang melibatkan guru, orang tua, dan masyarakat. Model ini bukan hanya menekan risiko kebocoran anggaran, tetapi juga menumbuhkan rasa kepemilikan bersama.
Pak Joko, seorang ketua komite sekolah di Jawa Tengah, mengatakan: “Kalau dulu kami hanya bisa melihat pembangunan dari jauh, sekarang kami ikut mengawasi. Bahkan orang tua murid bergotong royong, ada yang menyumbang tenaga, ada yang menyumbang material. Rasanya sekolah ini benar-benar milik kami.”
Studi World Bank (2018) menegaskan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sekolah terbukti meningkatkan akuntabilitas dan efektivitas penggunaan anggaran. Dengan demikian, revitalisasi tidak hanya menghasilkan bangunan fisik, tetapi juga memperkuat budaya gotong royong yang menjadi identitas bangsa.
Menjawab Tantangan Transparansi
Tidak bisa dipungkiri, pembangunan infrastruktur di Indonesia kerap dikaitkan dengan risiko korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dugaan pungli dan mark up anggaran menghantui proyek-proyek besar.
Revitalisasi sekolah mencoba menjawab persoalan klasik ini dengan desain pengelolaan yang lebih terbuka. Dengan mekanisme swakelola, keterlibatan masyarakat, serta pendampingan dari perguruan tinggi dan tim teknis Dinas Pendidikan, ruang gerak praktik KKN semakin menyempit.
Temuan Pratomo (2024) dalam Jurnal Akuntabilitas Publik menegaskan bahwa partisipasi publik dalam setiap tahap pembangunan merupakan instrumen penting untuk mencegah penyalahgunaan dana. Revitalisasi sekolah dengan model ini adalah bukti nyata inovasi tata kelola pembangunan yang lebih transparan, partisipatif, dan berorientasi hasil.
Lebih jauh, keterlibatan masyarakat juga menghadirkan efek sosial yang kuat: kepercayaan publik terhadap sekolah meningkat, dan rasa kepemilikan tumbuh. Ketika masyarakat merasa ikut membangun, mereka juga akan menjaga hasil pembangunan itu.
Akses, Mutu, dan Lingkungan Belajar
Pada hakikatnya, revitalisasi sekolah memiliki tiga tujuan utama sebagai penguatan karakter: meningkatkan akses pendidikan, menjamin mutu layanan, dan menciptakan lingkungan belajar yang sehat serta aman.
Dengan ruang kelas yang kokoh, siswa lebih fokus belajar tanpa takut atap bocor. Dengan laboratorium yang lengkap, lahirlah generasi kritis dan inovatif. Dengan toilet dan UKS yang memadai, tumbuh kesadaran akan pentingnya kebersihan dan kesehatan. Dengan perpustakaan yang terisi buku, berkembanglah imajinasi tanpa batas.
Hal ini di dukung oleh Syamsul & Wardani (2024) dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa sekolah dengan fasilitas memadai memiliki rata-rata nilai literasi dan numerasi lebih tinggi dibanding sekolah yang infrastrukturnya buruk. Artinya, fasilitas bukan sekadar penunjang, melainkan bagian integral dari mutu pendidikan.
Menjaga Nyala Harapan Pendidikan
Revitalisasi sekolah merupakan sebuah bukti keseriusan negara menanam investasi jangka panjang. Ini bukan sekadar proyek lima tahunan, tetapi warisan abadi yang menjadi peradaban. Dari sekolah yang kuat lahir masyarakat tangguh. Dari perpustakaan yang hidup lahir imajinasi tanpa batas. Dari laboratorium yang lengkap lahir generasi ilmuwan masa depan.
Seorang guru senior di Tegal, Pak Muslim, menutup percakapan dengan penuh haru:
“Saya mungkin tak sempat melihat semua murid saya sukses. Tapi saya yakin, dari kelas yang kuat ini, mereka akan melangkah lebih jauh. Itulah kebahagiaan seorang guru.”
Kalimat sederhana itu adalah inti dari revitalisasi: menyalakan harapan.
Dengan Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2025, negara telah menegaskan bahwa pendidikan bukan wacana, melainkan prioritas. Gotong royong masyarakat, integritas birokrasi, dan idealisme para pendidik kini berpadu.
Sebagaimana Nelson Mandela pernah berkata, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.” Senjata itu kini sedang ditempa di ruang-ruang kelas Indonesia. Dengan gotong royong, integritas, dan idealisme, revitalisasi sekolah sedang menyiapkan generasi emas 2045.
Revitalisasi sekolah bukan sekadar pembangunan, melainkan ikhtiar peradaban. Sebuah investasi abadi yang akan dikenang, dijaga, dan diwariskan lintas generasi. ***
*Penulis adalah Aktivis Pemerhati Kebijakan Pendidikan