• Mon, Oct 2025

Pendidikan Bermutu untuk Semua: Sebuah Tinjauan atas Capaian dan Tantangan

Pendidikan Bermutu untuk Semua: Sebuah Tinjauan atas Capaian dan Tantangan

Anak anak yang sedang belajar (Source : Muhammad Daffa Haidar)


Pendidikan di Indonesia sering kali seperti dua dunia yang tak sepenuhnya bertemu. Di satu sisi, sekolah-sekolah di perkotaan berlomba menembus peringkat internasional; di sisi lain, masih banyak anak di pelosok yang belajar di ruang kelas tanpa meja layak dan jaringan internet yang kadang cuma sekuat doa. Kondisi ini menegaskan bahwa mimpi pemerataan pendidikan belum sepenuhnya usai.

Menurut UNESCO Global Education Monitoring Report 2024, Indonesia masih menghadapi kesenjangan mutu pendidikan antarwilayah sebesar 32%, terutama dalam hal fasilitas belajar dan kompetensi tenaga pendidik. Sementara laporan World Bank Education Report 2025 menunjukkan peningkatan akses sekolah dasar di daerah tertinggal mencapai 11% dibandingkan dua tahun lalu, sebuah kemajuan yang penting meski belum menembus akar persoalan kualitas.

Apa bila kita amati, tema “Pendidikan Bermutu untuk Semua” yang diusung pemerintah dalam periode Oktober 2024–Oktober 2025 bukan sekadar jargon administratif, tetapi sebuah janji moral. Karena di balik setiap kebijakan, ada jutaan anak Indonesia yang menaruh harap pada ruang kelas sederhana mereka. 

Mewujudkan Pemerataan dari Sekolah ke Sekolah

Salah satu capaian terbesar adalah revitalisasi satuan pendidikan dari PAUD hingga SMA/SMK dan SLB. Dengan anggaran Rp16,97 triliun, pemerintah berhasil memperbaiki 15.523 sekolah, melampaui target awal 10.440. Data OECD Education Outlook 2025 menempatkan Indonesia dalam kelompok negara berkembang dengan kemajuan signifikan pada school facility index, setara dengan Vietnam dan sedikit di atas Filipina.

Program Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) juga menyalurkan Rp59,3 triliun kepada lebih dari 422 ribu sekolah, menjangkau 50 juta siswa di seluruh nusantara. Langkah ini bukan hanya memperkuat sarana belajar, tapi juga menggerakkan ekonomi lokal melalui partisipasi masyarakat sekitar sekolah.

Menurut riset Jurnal Pendidikan Indonesia (2024), perbaikan fasilitas dan transparansi dana operasional berdampak langsung pada peningkatan partisipasi siswa hingga 9,7%. Artinya, semakin layak sekolah berdiri, semakin tinggi semangat belajar anak-anak di dalamnya.

Penting untuk dipahami bahwa, revitalisasi sekolah bukan sekadar soal bangunan baru, tetapi bukti bahwa negara mulai sungguh-sungguh hadir hingga ke tingkat paling dasar. Seperti pesan Ki Hadjar Dewantara, “Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat anak-anak.” Maka tugas kita adalah memastikan setiap ruang kelas benar-benar menjadi tempat anak-anak dituntun, bukan sekadar diajar.

Transformasi Digital dan Kesejahteraan Guru: Dua Poros Pembaruan

Transformasi digital kini menjadi poros penting reformasi pendidikan. Berdasarkan Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2025, digitalisasi pembelajaran telah menjangkau lebih dari 285 ribu sekolah. Data Katadata Insight Center (2025) mencatat 73% guru merasa sistem digital memudahkan pembelajaran, meski 52% masih menghadapi kendala jaringan.

Temuan serupa dalam Jurnal Teknologi Pendidikan Nusantara (2025) menunjukkan bahwa penerapan platform digital meningkatkan motivasi belajar siswa hingga 21% di wilayah yang memiliki koneksi internet stabil. Namun, sebagaimana saya amati, keberhasilan transformasi digital tidak bisa dilepaskan dari kesejahteraan guru itu sendiri.

Pemerintah telah menyalurkan Rp13,2 triliun untuk meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan guru, mulai dari tunjangan profesi, subsidi upah, hingga insentif bagi tenaga non-ASN. Menurut World Bank Teacher Policy Brief 2024, kesejahteraan guru yang meningkat berbanding lurus dengan kualitas pembelajaran dan retensi tenaga pengajar di daerah.

Seorang guru di Banjarmasin pernah mengeluarkan statemen, “Kami tidak butuh kemewahan, cukup stabilitas.” Kalimat sederhana itu menyentuh. Karena teknologi secanggih apa pun tak akan berarti tanpa guru yang sejahtera dan berdaya.

Sebagaimana diungkapkan Prof. Muhadjir Effendy, “Pendidikan harus bergerak mengikuti zaman, tapi jangan kehilangan jiwanya.” Dan jiwa itu, menurut saya, ada pada guru — bukan pada algoritma atau jaringan sinyal.

Akses, Karakter, dan Harapan Baru

Pemerintah juga terus memperkuat akses melalui Program Indonesia Pintar (PIP) dan Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM). Tahun ini, 18,5 juta siswa menerima manfaat PIP dengan anggaran Rp13,5 triliun, sedangkan program ADEM menjangkau 4.679 siswa di wilayah 3T. Berdasarkan survei Katadata Insight Center (2025), 63,7% masyarakat menilai program PIP lebih tepat sasaran dibandingkan periode sebelumnya.

Di sisi lain, sistem Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) yang menggantikan PPDB mulai menunjukkan hasil positif. Survei nasional Detik Edu (2025) mengungkap 88% orang tua merasa sistem baru ini lebih adil dan transparan. Hasil riset KIC Education Survey 2025 juga menegaskan bahwa SPMB membantu menekan praktik kecurangan pendaftaran hingga 37%.

Namun, dapat disimpulkan, pendidikan yang bermutu tidak hanya berbicara tentang akses dan keadilan, tetapi juga tentang karakter. Melalui Program 7 Kebiasaan Anak Hebat mulai dari bangun pagi, beribadah, makan sehat, hingga tidur tepat waktu, pemerintah menanamkan nilai disiplin dan keseimbangan hidup.

Riset Jurnal Psikologi Pendidikan UIN Sunan Kalijaga (2024) mencatat bahwa pembiasaan sederhana di sekolah mampu menurunkan tingkat stres akademik siswa sebesar 12%. Artinya, membangun karakter tidak perlu rumit; cukup konsisten dan manusiawi.

Kesimpulan: Optimisme yang Terukur

Capaian pendidikan selama satu tahun terakhir patut diapresiasi. Infrastruktur membaik, akses meluas, kesejahteraan guru meningkat, dan sistem penerimaan siswa makin adil. Namun, perjalanan masih panjang. Ketimpangan digital, kualitas tenaga pendidik, dan pengawasan anggaran masih menjadi pekerjaan rumah besar.

Penting untuk dipahami bahwa, tantangan terbesar bukan lagi pada ketersediaan dana, tetapi pada konsistensi implementasi dan kepekaan terhadap kebutuhan lokal. Pendidikan tidak bisa seragam, karena Indonesia sendiri tidak seragam.

Sebagai warga negara Indonesia, kita harus percaya pendidikan adalah investasi peradaban, ia tak bisa diukur hanya dengan angka, tetapi dengan perubahan sikap, semangat, dan harapan manusia di dalamnya. Seperti kata Gus Dur, “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.” Dan pendidikan, sejatinya, adalah bentuk paling nyata dari kemanusiaan itu.

Jika pemerintah mampu menjaga arah ini dengan konsisten dan berpihak pada guru, murid, serta daerah tertinggal, maka cita-cita “Pendidikan Bermutu untuk Semua” bukan lagi impian, tapi kenyataan yang sedang tumbuh, pelan, pasti, dan bermakna.

Tulisan ini adalah refleksi, bukan sekadar laporan. Karena setiap angka punya wajah, dan setiap kebijakan punya cerita.