PEKANBARU, SERANTAU MEDIA – Direktur Eksekutif Riau Social Forestry, Johny Setiawan Mundung, menyoroti kondisi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang kian memprihatinkan. Kawasan konservasi yang termasuk di wilayah Kabupaten Pelalawan, Indragiri Hulu, dan Kuantan Singingi, Provinsi Riau, telah banyak ditanami kelapa sawit, menggantikan ekosistem aslinya.
"Tesso Nilo adalah rumah bagi sedikitnya 360 jenis flora, 107 jenis burung, 50 jenis ikan, 23 jenis mamalia, 18 jenis amfibi, 15 jenis reptil, dan 3 jenis primata. Ini bukan kawasan biasa," kata Johny S Mundung sambil membuka catatanya berbincang dengan wartawan dari tim Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Riau Selasa (17/6/2025) di Pekanbaru.
Dengan luas lebih dari 81.000 hektare, TNTN sejatinya menjadi habitat penting satwa langka seperti Harimau Sumatera dan Beruang Madu. Namun, kini, kata Johny, kawasan itu telah berubah wajah menjadi kebun sawit ilegal yang ditanami oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Pada 10 Juni 2025 lalu, Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) melakukan operasi gabungan untuk menertibkan kawasan TNTN dari sawit ilegal. Bahkan, masyarakat yang mendiami kawasan itu diberikan ultimatum untuk angkat kaki dalam waktu tiga bulan.
Namun, Johny menilai penertiban ini tidak bisa hanya dilakukan dengan pendekatan represif semata.
"Fakta di lapangan, muncul dugaan adanya praktik ilegal seperti penerbitan SKT palsu yang dibeking oknum aparat. Ini harus diusut tuntas. Jangan hanya masyarakat kecil yang ditindak," tegas Johny S Mundung.
Johny menyatakan, pihaknya sangat mendukung langkah penertiban dan pemulihan fungsi hutan di Tesso Nilo. Namun, Johny meminta, semua proses dilakukan secara transparan dan akuntabel. "Siapa saja aparat yang terlibat? Penegakan hukumnya bagaimana? Ini harus dijelaskan ke publik,” tambahnya.
Lebih jauh, Johny mempertanyakan kebijakan pasca-penertiban. Ia menekankan perlunya kejelasan terkait relokasi masyarakat dan upaya restorasi kawasan.
"Kapan masyarakat direlokasi secara manusiawi? Berapa luas kebun sawit di kawasan TNTN? Dan kapan sawit ini diganti dengan tanaman lokal seperti aren, durian, lengkeng, atau dikembalikan menjadi hutan?" Johny yang diketahui konsen terhadap lingkungan di Riau.
Johny juga mendesak sinergi dan koordinasi antara Kepolisian, Kejaksaan, Balai Taman Nasional Tesso Nilo, dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dijalankan secara terbuka, sesuai dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-Undang Kehutanan, dan Undang-Undang Lingkungan Hidup.
Dirinya pun mengingatkan, apabila penindakan tidak disertai dengan keadilan dan transparansi, bukan tidak mungkin masyarakat akan melakukan perlawanan hukum.
"Bagaimana jika masyarakat menyewa pengacara karena merasa tidak bersalah dan memiliki bukti SKT? Bagaimana jika mereka membuktikan selama ini ada pembiaran bahkan kongkalikong dari oknum aparat? Maka ini harus dijelaskan di hadapan publik," tegasnya.
Johny menegaskan lagi, bahwa pemulihan TNTN bukan hanya soal menggusur, tapi juga soal keadilan ekologis dan sosial. **